KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Alloh SWT penguasa alam
ini, kami mengucapkan syukur atas kemudahan yang alloh berikan kepada kami,
sehingga dapat menyelesaikan tugas pembuatan Makalah tentang “Otonomi Daerah”
tepat pada waktunya.
Shalawat
dan salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada suri tauladan, khalifah yang
mengantarkan islam pada zaman yang terang benderang, sehingga manusia dapat
terlepas dari zaman kegelapan, yaitu Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya,
sahabatnya dan semoga taufiknya dapat menghantarkan kita menuju surga
bersamanya.
Teriring
dengan kesadaran bahwa ibadah terbagi dua yaitu ibadah yang berurusan langsung
dengan Alloh dan ibadah yang berurusan dengan manusia langsung, alhamdulillah
pada kesempatan ini, penyusun di beri kepercayaan oleh dosen mata kuliah PPKn
untuk dapat menyusun dan membahas persoalan mengenai “Otonomi Daerah”
Tak
lupa ucapan terimakasih, penyusun sampaikan kepada semua pihak yang turut
membantu dalam penyusunan makalah ini, penyusun mengakui tidak ada gading yang
tak retak, maka dari itu semua bentuk saran dan ktitik dari semua pihak dapat
membantu penyusun membuat makalah yang akan datang lebih baik dari pada ini.
Akhirnya
hanya ini yang dapat penyusun sampaikan, pada akhirnya penyusun berharap,
makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Bandung,
18 Februari 2012
Penyusun
PENDAHULUAN
Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dasar hukum pembentukan Pemeritahan
Daerah,menghendaki pembagian Wilayah Indonesia atas daerah besar dan
kecil,dengan bentuk dan susunan ditetapkan dengan Undang-undang.Dan pembentukan
daerah besar dan kecil tersebut harus tetap memperhatikan hak-hak asal-usul
dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Prof. Soepomo
menyatakan bahawa Otonomi Daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan
regional menurut riwayat adat dan sifat-sifat sendiri-sendiri,dalam kadar
Negara kesatuan.Tiap daerah mempunyai histories dan sifat khusus yang berlainan
dari riwayat dan sifat daerah lain.Karena itu,Pemerintah harus menjauhkan
segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu
model.
Menurut
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,yang dimaksud
daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah,adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.Sedangkan yang dimaksud Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Penyesuaian
kewenangan dan fungsi penyedian pelayanan antara pemerintah pusat,provinsi, dan
kabupaten/kota sudah memuat tujuan baik politis maupun teknis.Secara
politis,desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari tuntutan reformasi
seperti direfleksikan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang selanjutnya
ditekankan kembali dalam Rencana Jangka Menengah Nasional.Sedangkan secara
teknis masih terdapat sejumlah besar langkah-langkah yang harus dilaksanakan
untuk menjamin penyesuaian kewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara efektif.
PEMBAGIAN KEKUASAAN
DALAM OTONOMI DAERAH
Pembagian Kekuasaan
Antara Pusat Dan Daerah
Pembagian kekuasaan antara Pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani Pusat hampir sama dengan yang ditangani oleh Pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh Pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik negara, dan pengembangan sumberdaya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani Pusat disebutkan secara spesifik dan limitatif dalam UU tersebut. Dalam RUU Pemda yang diajukan Pemerintah, agama termasuk yang diserahkan kepada daerah otonom sebagai bagian dari otonomi daerah. Namun MUI menyampaikon keberatan kepada DPR dan mendesak DPR dan Pemerintah untuk tetap menempatkan urusan agama pada Pusat dengan alasan kuatir akan muncul daerah agama.
Selain itu, otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata dan bertanggungjawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada Pusat (seperti pada negara federal); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah; dan disebut bertanggungjawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan daerah dan antar daerah. Disamping itu otonomi seluas-luasnya (keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka desentralisasi harus pula disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.
Karena disamping daerah otonom propinsi juga merupakan daerah administratif, maka kewenangan yang ditangani propinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Otonom Propinsi dalam rangka desentralisasi mencakup :
a). Kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan;
b). Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumberdaya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang propinsi;
c). Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi, eksploatasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara, dan
d). Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota dan diserahkan kepada propinsi dengan pernyataan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut.
Bila dicermati secara seksama, maka tampaknya kriteria yang digunakan dalam menentukan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom propinsi lebih didasarkan pada kriteria efisiensi daripada kriteria politik. Artinya, jenis kewenangan yang dipandang lebih efisien, diselenggarakan oleh propinsi daripada pusat ataupun kabupaten/kota. Sudah barang tentu dengan kekecualian bagi kewenangan yang diserahkan kepada propinsi khusus dan istimewa. Dari segi tujuan yang dicapai dengan otonomi daerah (jenis dan jumlah kewenangan) tersebut, tampaknya pertumbuhan ekonomi dan penyediaan infrastruktur lebih menonjol sebagai sasaran yang akan dicapai daripada peningkatan pelayanan publik kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat. Kecuali bila pertumbuhaan ekonomi ini memang diarahkan pada penciptaan kesempatan kerja. Peningkatan kesejahteraan rakyat mungkin akan ditangani propinsi, semata-mata karena daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota belum mampu, atau karena dilimpahkan pusat kepada propinsi. Akan tetapi seperti dikemukakan pada awal tulisan ini, pekerjaan yang layak dari segi jenis dan penghasilan bagi penduduk yang berumur kerja merupakan kunci kesejahteraan sosial. Karena itu daerah otonom propinsi hendaknya mengarahkan pertumbuhan ekonomi kepada penciptaan kesempatan kerja tersebut.
Desentralisasi kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan pluralisme daerah otonom dan pluralisme otonomi daerah. Daerah otonom tidak lagi disusun secara bertingkat (Dati I, Dati II, dan Desa sebagai unit administrasi pemerintahan terendah) seperti pada masa Orde Baru melainkan dipilah menurut jenisnya, yaitu daerah otonom propinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat adat (desa atau nama lain) sebagai daerah otonom asli. Jenis dan jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom (otonomi daerah) tidak lagi bersifat seragam seluruhnya melainkan hanya yang bersifat wajib saja yang sama sedangkan kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu pelaksanaannya. Perbedaan daerah otonom kabupaten/kota dengan daerah otonom kabupaten/kota lainnya tidak saja terletak pada jenis kewenangan pilihan yang ditanganinya tetapi juga jenis kewenangan wajib yang mampu ditanganinya karena bila belum mampu menanganinya maka jenis kewenangan itu buat sementara dapat diurus oleh propinsi.
Perbedaan setiap daerah otonom propinsi terletak pada apakah propinsi itu daerah khusus/istimewa ataukah biasa, dan apakah terdapat kabupaten atau kota yang berada dalam wilayah propinsi itu yang belum mampu menangani semua jenis kewenangan wajib tersebut. Di Indonesia dikenal tiga propinsi yong berstatus khusus, yaitu DKI Jakarta (khusus karena ibukota negara), Daerah Istimewa Aceh (dalam hal sejarah, adat istiadat dan agama), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam hal sejarah dan kepeminpinan daerah). Bila bercermin pada kemampuan kabupaten dan kota yang terdapat pada sejumlah propinsi di Indonesia dewasa ini, maka untuk beberapa propinsi tersebut seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar daripada kabupaten dan kota. Propinsi Irian Jaya, Kalimantan Tengah, dan Riau mungkin termasuk kedalam kategori ini, sedangkan semua propinsi di Jawa, Sumut, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara misalnya yang hampir semua kabupaten/kotanya sudah memiliki kemampuan di atas rata-rata tetap mengikuti UU tersebut (kewenangan kabupaten dan kota lebih banyak daripada propinsi). Akan tetapi pluralisme otonomi daerah seperti ini rupanya dinilai terlalu kompleks sehingga tidak diadopsi dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut.
Desa (Jawa), nagari (Sumbar), baniar (Bali), huta/kuta (Batak), negeri (Maluku), gampong (Aceh), dan nama lain di daerah lain dikembalikan statusnya sebagai kesatuan masyarakat adat yang berwenang mengurus rumah tangganya sendiri. Desa dan kesatuan masyarakat adat lainnya itu diakui sebagai memiliki otonomi asli, yaitu tugas dan kewenangan yang lahir berdasarkan adat istiadat, sejarah, dan tradisi masyarakat tersebut. Kesatuan masyarakat adat bukan lagi unit administrasi pemerintahan terendah; ia bukan lagi perpanjangan tangan negara atau daerah otonom. Negaranisasi yang dilakukan Orde Baru terhadap kesatuan masyarakat adat, yang menyebabkan kehancuran kelembagaan, kemampuan, pengetahuan, dan sumberdaya lokal, hendaknya diakhiri. Kesatuan masyarakat adat hendak dikembalikan sebagai self governing community. Karena pada masa lalu kesatuan masyarakat adat ini cenderung menjadi korban pengusaha kehutanan, pengusaha industri, pengusaha perumahan, dan pengusaha industri pariwisata, maka dalam UU ini ditegaskan keharusan adanya kerjasama antara perusahaan yang melakukan investasi di kawasan pedesaan tersebut dengan kesatuan masyarakat adat.
Dalam rangka negara kesatuan, Pemerintah Pusat masih memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi pengawasan yang dilakukan pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud ialah seperti berikut : Pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu bupati dan gubernur bertindak sebagai wakil Pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang-undangan, yaitu setiap Perda memerlukan persetujuan Pusat untuk dapat berlaku. Menurut UU baru ini, bupati dan walikota sepenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan ataupun pemberhention kepala daerah secara administratif (pembuatan Surat Keputusan) masih diberikan kepada Presiden. Gubernur pada pihak lain masih merangkap sebagai wakil Pusat dan kepala daerah otonom, tetapi UU baru ini menetapkan kewenangan Pusat dan kewenangan DPRD untuk mengontrol gubemur secara seimbang. Pengawasan Pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini dilakukan berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap Perda yang dibuat oleh DPRD dan Kepala Daerah langsung dapat berlaku tanpa memerlukan persetujuan Pemerintah. Akan tetapi Pusat setiap saat dapat menunda atau membatalkannya bila Perda itu dinilai bertentangan dengan Konstitusi, UU dan kepentingan umum.
Sebaliknya, bila daerah otonom (DPRD dan Kepala Daerah) menilai justru tindakan Pusat menunda atau membatalkan itulah yang bertentangan dengan Konstitusi, UU atau kepentingan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pusat dan daerah otonom harus patuh kepada keputusan MA.
Pembagian kekuasaan antara Pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani Pusat hampir sama dengan yang ditangani oleh Pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh Pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik negara, dan pengembangan sumberdaya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani Pusat disebutkan secara spesifik dan limitatif dalam UU tersebut. Dalam RUU Pemda yang diajukan Pemerintah, agama termasuk yang diserahkan kepada daerah otonom sebagai bagian dari otonomi daerah. Namun MUI menyampaikon keberatan kepada DPR dan mendesak DPR dan Pemerintah untuk tetap menempatkan urusan agama pada Pusat dengan alasan kuatir akan muncul daerah agama.
Selain itu, otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata dan bertanggungjawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada Pusat (seperti pada negara federal); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah; dan disebut bertanggungjawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan daerah dan antar daerah. Disamping itu otonomi seluas-luasnya (keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka desentralisasi harus pula disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.
Karena disamping daerah otonom propinsi juga merupakan daerah administratif, maka kewenangan yang ditangani propinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Otonom Propinsi dalam rangka desentralisasi mencakup :
a). Kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan;
b). Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumberdaya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang propinsi;
c). Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi, eksploatasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara, dan
d). Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota dan diserahkan kepada propinsi dengan pernyataan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut.
Bila dicermati secara seksama, maka tampaknya kriteria yang digunakan dalam menentukan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom propinsi lebih didasarkan pada kriteria efisiensi daripada kriteria politik. Artinya, jenis kewenangan yang dipandang lebih efisien, diselenggarakan oleh propinsi daripada pusat ataupun kabupaten/kota. Sudah barang tentu dengan kekecualian bagi kewenangan yang diserahkan kepada propinsi khusus dan istimewa. Dari segi tujuan yang dicapai dengan otonomi daerah (jenis dan jumlah kewenangan) tersebut, tampaknya pertumbuhan ekonomi dan penyediaan infrastruktur lebih menonjol sebagai sasaran yang akan dicapai daripada peningkatan pelayanan publik kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat. Kecuali bila pertumbuhaan ekonomi ini memang diarahkan pada penciptaan kesempatan kerja. Peningkatan kesejahteraan rakyat mungkin akan ditangani propinsi, semata-mata karena daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota belum mampu, atau karena dilimpahkan pusat kepada propinsi. Akan tetapi seperti dikemukakan pada awal tulisan ini, pekerjaan yang layak dari segi jenis dan penghasilan bagi penduduk yang berumur kerja merupakan kunci kesejahteraan sosial. Karena itu daerah otonom propinsi hendaknya mengarahkan pertumbuhan ekonomi kepada penciptaan kesempatan kerja tersebut.
Desentralisasi kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan pluralisme daerah otonom dan pluralisme otonomi daerah. Daerah otonom tidak lagi disusun secara bertingkat (Dati I, Dati II, dan Desa sebagai unit administrasi pemerintahan terendah) seperti pada masa Orde Baru melainkan dipilah menurut jenisnya, yaitu daerah otonom propinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat adat (desa atau nama lain) sebagai daerah otonom asli. Jenis dan jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom (otonomi daerah) tidak lagi bersifat seragam seluruhnya melainkan hanya yang bersifat wajib saja yang sama sedangkan kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu pelaksanaannya. Perbedaan daerah otonom kabupaten/kota dengan daerah otonom kabupaten/kota lainnya tidak saja terletak pada jenis kewenangan pilihan yang ditanganinya tetapi juga jenis kewenangan wajib yang mampu ditanganinya karena bila belum mampu menanganinya maka jenis kewenangan itu buat sementara dapat diurus oleh propinsi.
Perbedaan setiap daerah otonom propinsi terletak pada apakah propinsi itu daerah khusus/istimewa ataukah biasa, dan apakah terdapat kabupaten atau kota yang berada dalam wilayah propinsi itu yang belum mampu menangani semua jenis kewenangan wajib tersebut. Di Indonesia dikenal tiga propinsi yong berstatus khusus, yaitu DKI Jakarta (khusus karena ibukota negara), Daerah Istimewa Aceh (dalam hal sejarah, adat istiadat dan agama), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam hal sejarah dan kepeminpinan daerah). Bila bercermin pada kemampuan kabupaten dan kota yang terdapat pada sejumlah propinsi di Indonesia dewasa ini, maka untuk beberapa propinsi tersebut seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar daripada kabupaten dan kota. Propinsi Irian Jaya, Kalimantan Tengah, dan Riau mungkin termasuk kedalam kategori ini, sedangkan semua propinsi di Jawa, Sumut, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara misalnya yang hampir semua kabupaten/kotanya sudah memiliki kemampuan di atas rata-rata tetap mengikuti UU tersebut (kewenangan kabupaten dan kota lebih banyak daripada propinsi). Akan tetapi pluralisme otonomi daerah seperti ini rupanya dinilai terlalu kompleks sehingga tidak diadopsi dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut.
Desa (Jawa), nagari (Sumbar), baniar (Bali), huta/kuta (Batak), negeri (Maluku), gampong (Aceh), dan nama lain di daerah lain dikembalikan statusnya sebagai kesatuan masyarakat adat yang berwenang mengurus rumah tangganya sendiri. Desa dan kesatuan masyarakat adat lainnya itu diakui sebagai memiliki otonomi asli, yaitu tugas dan kewenangan yang lahir berdasarkan adat istiadat, sejarah, dan tradisi masyarakat tersebut. Kesatuan masyarakat adat bukan lagi unit administrasi pemerintahan terendah; ia bukan lagi perpanjangan tangan negara atau daerah otonom. Negaranisasi yang dilakukan Orde Baru terhadap kesatuan masyarakat adat, yang menyebabkan kehancuran kelembagaan, kemampuan, pengetahuan, dan sumberdaya lokal, hendaknya diakhiri. Kesatuan masyarakat adat hendak dikembalikan sebagai self governing community. Karena pada masa lalu kesatuan masyarakat adat ini cenderung menjadi korban pengusaha kehutanan, pengusaha industri, pengusaha perumahan, dan pengusaha industri pariwisata, maka dalam UU ini ditegaskan keharusan adanya kerjasama antara perusahaan yang melakukan investasi di kawasan pedesaan tersebut dengan kesatuan masyarakat adat.
Dalam rangka negara kesatuan, Pemerintah Pusat masih memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi pengawasan yang dilakukan pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud ialah seperti berikut : Pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu bupati dan gubernur bertindak sebagai wakil Pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang-undangan, yaitu setiap Perda memerlukan persetujuan Pusat untuk dapat berlaku. Menurut UU baru ini, bupati dan walikota sepenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan ataupun pemberhention kepala daerah secara administratif (pembuatan Surat Keputusan) masih diberikan kepada Presiden. Gubernur pada pihak lain masih merangkap sebagai wakil Pusat dan kepala daerah otonom, tetapi UU baru ini menetapkan kewenangan Pusat dan kewenangan DPRD untuk mengontrol gubemur secara seimbang. Pengawasan Pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini dilakukan berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap Perda yang dibuat oleh DPRD dan Kepala Daerah langsung dapat berlaku tanpa memerlukan persetujuan Pemerintah. Akan tetapi Pusat setiap saat dapat menunda atau membatalkannya bila Perda itu dinilai bertentangan dengan Konstitusi, UU dan kepentingan umum.
Sebaliknya, bila daerah otonom (DPRD dan Kepala Daerah) menilai justru tindakan Pusat menunda atau membatalkan itulah yang bertentangan dengan Konstitusi, UU atau kepentingan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pusat dan daerah otonom harus patuh kepada keputusan MA.
Permasalahan, Otonomi Daerah
Memindahkan Korupsi Dari Pusat Ke Daerah
Ada sementara orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan otonomi daerah
ternyata cenderung memindahkan korupsi dari Pusat ke daerah dan menciptakan
raja-raja kecil didaerah.Ini dimungkinkan terjadi, karena kewenangan DPRD yang
besar itu tidak digunakan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan
diri sendiri.Praktek money politics
bukan lagi rahasia, sehingga pertanggungjawaban KDH seringkali lolos mulus
dihadapan DPRD.Perilaku “aji mumpung” di kalangan anggota DPRD
dilatar belakangi oleh rasa kurang
percaya diri, sehingga merasa tidak ada jaminan dirinya bakal terpilih kembali dalam
pemilu berikutnya.Akibatnya fungsi control tidak berjalan,bahkan mereka bermain
sendiri, sehingga clean governance di
daerah sulit diwujudkan.
Kondisi demikian ini memunculkan
peluang korupsi baik pada tataran eksekuttif maupan legislatif, terbukti
akhir-akhir ini terjadi banyak Bupati/Walikota dan aparatnya serta beberapa
anggota dewan yang dimejahijaukan.
Untuk itu perlu dilakukan
upaya-upaya pemecahanya, dengan langkah-langkah, antara lain :
1. Penegakan hukum perlu lebih ditingkatkan
lagi, dengan meningkatkan kerja
sama masyarakat,lembaga pengawas
fungsional dan penegak hokum.
2. Pengawasan melekat, pengawasan
fungsional dan pengawasan oleh masyarakat perlu lebih ditingkatkan, dengan
memperluas jaringan dan informasi.
3. Perlu standart Pelayanan Minimal
dan standart pengukuran kinerja yang jelas baik untuk eksekutif maupun untuk
legislatif, sehingga capaian pelayanan dan kinerja setiap setiap tahunnya dapat
diukur dengan jelas.
PEMILIHAN,
PEMANTAPAN DAN KEWENANGAN KEPALA DAERAH
Pemilihan
umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada
atau pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah
dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat
yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah:
- Gubernur
dan wakil gubernur untuk provinsi
- Bupati
dan wakil bupati untuk kabupaten
- Walikota
dan wakil walikota untuk kota
Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan
pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam undang-undang ini, pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah) belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Pilkada pertama
kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu,
sehingga secara resmi bernama "pemilihan umum kepala daerah dan wakil
kepala daerah" atau "Pemilukada". Pilkada pertama yang
diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas
Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di
Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen
Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih
Aceh).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari
pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang
ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa
pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus
di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai
politik lokal.
Kepala
Daerah
Setiap
daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah.
Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati
dan untuk kota adalah walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil
kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut
wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala dan wakil kepala
daerah memiliki tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan. Kepala daerah
juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban
kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepada masyarakat.
Kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:
- meninggal dunia;
- permintaan sendiri; atau
- diberhentikan.
Kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sebagaimana dimaksud karena:
- berakhir masa jabatannya dan
telah dilantik pejabat yang baru;
- tidak dapat melaksanakan tugas
secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6
(enam) bulan;
- tidak lagi memenuhi syarat
sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;
- dinyatakan melanggar
sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;
- tidak melaksanakan kewajiban
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;
- melanggar larangan bagi kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Apabila kepala daerah berhenti dalam masa jabatannya maka kepala daerah diganti oleh wakil kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden. Apabila terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah dalam masa jabatannya dan sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, kepala daerah mengusulkan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerah berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRD memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya penjabat kepala daerah.
Perangkat
Daerah
Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat
daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat
daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas
daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah.
Sekretaris Daerah diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
Sekretaris Daerah Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sekretaris Daerah
Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul
Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sekretaris Daerah
karena kedudukannya sebagai pembina pengawai negeri sipil di daerahnya.
Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris DPRD.
Sekretaris DPRD Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur dengan
persetujuan DPRD Provinsi. Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota diangkat dan
diberhentikan oleh Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota.
Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana otonomi
daerah. Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dan diberhentikan
oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul
Sekretaris Daerah.
Lembaga Teknis Daerah merupakan unsur pendukung
tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang
bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah. Badan,
kantor atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimaksud dipimpin oleh kepala
badan, kepala kantor, atau kepala rumah sakit umum daerah yang diangkat oleh kepala
daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris
Daerah.
Kecamatan dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan
Perda Kabupaten/Kota yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan
dipimpin oleh seorang camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh
pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian
urusan otonomi daerah. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul sekretaris
daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan
teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan
Perda Kabupaten/Kota yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan
dipimpin oleh seorang lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh
pelimpahan dari Bupati/Walikota. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul
Camat dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan
dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan
Kepala Daerah
Pemerintah daerah bersama-sama DPRD mengatur (regelling) urusan
pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya. Pemerintah daerah mengurus (bestuur)
urusan pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya. Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan
Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
yang telah diundangkan dalam Berita Daerah.Pada saat pemilihan kepala daerah pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk menggunakan fasilitas umum. KPUD berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye.
Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Perjanjian penerusan pinjaman tersebut dilakukan antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.
Pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi daerah untuk membiayai investasi yang menghasilkan penerimaan daerah. Pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat memberikan insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam Perda dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta. Penyertaan modal tersebut dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dialihkan kepada badan usaha milik daerah. Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundangundangan.
Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna membiayai kebutuhan tertentu yang dananya tidak dapat disediakan dalam satu tahun anggaran. Pengaturan tentang dana cadangan daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi surplus/defisit APBD kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap semester dalam tahun anggaran berjalan. Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perda tentang perubahan APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD.
Pemerintah daerah dapat membentuk badan pengelola pembangunan di kawasan perdesaan yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan. Pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan kawasan perkotaan. Pemerintah daerah bersama-sama DPRD mengatur (regelling) urusan pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya. Pemerintah daerah mengurus (bestuur) urusan pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya. Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah diundangkan dalam Berita Daerah.
Pada saat pemilihan kepala daerah pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk menggunakan fasilitas umum. KPUD berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye.
Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Perjanjian penerusan pinjaman tersebut dilakukan antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.
Pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi daerah untuk membiayai investasi yang menghasilkan penerimaan daerah. Pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat memberikan insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam Perda dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta. Penyertaan modal tersebut dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dialihkan kepada badan usaha milik daerah. Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundangundangan.
Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna membiayai kebutuhan tertentu yang dananya tidak dapat disediakan dalam satu tahun anggaran. Pengaturan tentang dana cadangan daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi surplus/defisit APBD kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap semester dalam tahun anggaran berjalan. Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perda tentang perubahan APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD.
Pemerintah daerah dapat membentuk badan pengelola pembangunan di kawasan perdesaan yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan. Pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan kawasan perkotaan.
REFERENSI
fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content...
id.wikipedia.org/.../Pemilihan_umum_kepala_daerah
id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah_di_Indonesia
Posting Komentar