Jurnalisme Infotainment


Jurnalisme Infotainment
Infotainment tumbuh dan mulai menguasai tayangan televisi Indonesia menggantikan arena gosip yang pernah marak. Sepintas memang tidak berbeda gosip dan infotainment. Bedanya, infotainment merupakan gosip yang dibuat melalui penelusuran atau investigasi. Dikaitkan dengan jurnalisme, tampaknya infotainmen merupakan spesifikasi baru. Lahir di Indonesia setelah dipromosikannya investigatif reporting yakni jurnalisme yang menganut paham pendalaman. Berita investigasi merupakan berita lengkap dari sebuah peristiwa sebagai hasil penelusuran wartawan. Biasanya berkaitan dengan korupsi. Karena itu tanpa pengetahuan jurnalistik yang memadai, investigation reporting bisa menghasilkan berita prasangka, berita yang mungkin saja melanggar asas praduga tak bersalah. Berita seperti itu diharamkan oleh Kode Etik Jurnalistik di (KEJ) dan Kode Etik Wartawan (KEWI).
Sedangkan infotainment merupakan analog dari entertainmen yang bobotnya memang lebih ke arah hiburan. Biasanya berupa tayangan atau pemuatan tulisan/informasi yang berkaitan dengan kehidupan pribadi orang terkenal. Di negara Barat, terutama Inggris, hal itu biasa dilakukan koran kuning berbentuk tabloid. Justru berita eksklusif dari balik tembok istana itulah yang menjadi ciri khas tabloid. Di Indonesia dominasinya dipegang televisi.
a.       Jurnalisme Kuning dalam Jurnalisme Infotainment
Istilah jurnalisme kuning (yellow jornalism) muncul pada tahun 1800-an. Ia muncul pada “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst. Ciri khas jurnalisme kuning adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya adalah untuk meningkatkan penjualan dan menaikkan oplah berlipat-lipat.
Jurnalisme kuning ikut andil dalam mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.
Beberapa Teori dalam Jurnalisme Infotainment
Hubungannya dengan penelitian ini, peneliti mengangkat dua teori komunikasi massa, yaitu agenda setting model dan diffusion of innovation theory:
1.       Agenda setting model
Teori ini dikemukakan oleh M.E. Mc Combs dan D.L. Shaw dalam Public Opinion Quarterly terbitan tahun 1972 yag berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media. Mereka mengatakan bahwa jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk meenganggapnya penting. Mereka menjelaskan bahwa ada korelasi positif yang cukup signifikan antara penekanan berita dan penilaian berita oleh khalayak (Effendi, 1993: 287).
2.      Diffusion of innovation theory
Teori ini muncul pada artikel yang berjudul The People’s Choice tahun 1944 yang ditulis oleh Paul Lazarfeld, Benard Berelson, dan H. Gaudet. Mereka mengatakan bahwa komunikator yang mendapatkan pesan dari media massa sanga kuat untuk mempengaruhi orang-orang. Dengan kata lain, ketika ada informasi baru dan inovatif, lalu disebarkan (difusi) melalui media massa, maka akan sangat kuat mempengaruhi massa untuk mengikutinya (Nurudin 2003: 177).
Teori agenda setting sesuai dengan pemikiran peneliti yang menduga bahwa peran media massa cukup besar untuk mempengaruhi pikiran khalayak melalui penekanan berita yang disampaikan. Media massa digunakan sebagai alat untuk mengonstruksi area kognitif audiensnya sehingga mereka mau mengubah pandangan-pandangan yang dianut ataupun menerima perspektif-perspektif baru.
Diffusion of Innovatin theory semakin mempercepat persebaran informasi. Teori ini menunjukkan bahwa media massa semakin mempercepat jalannya arus informasi hingga mencapai khalayak dalam jumlah yang besar. Inilah salah satu keutamaan media massa.
b.      Posisi Dilematis
Merujuk pada arti sesungguhnya dari infotainment, yaitu informasi yang dikemas dalam balutan entertainment, maka sudah sewajarnya jika porsi informasi lebih banyak daripada porsi hiburan itu. Namun faktanya, kini inforainment justru lebih mengutamakan unsur hiburan dari pada unsur informasi. Ini terkait dengan kandungan informasi misalnya bobot informasi atau penting tidaknya informasi tersebut disampaikan kepada publik. Mengacu pada theory agenda setting, maka sebenarnya medialah yang telah mengonstruksi pikiran publik sehingga informasi yang sebenarnya tidak penting menjadi penting. Dalam teori yang dikemukakan oleh M.E.Mc Combs dan D.L. Shaw dikatakan bahwa jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Mereka menjelaskan bahwa ada korelasi positif yang cukup signifikan antara penekanan berita dan penilaian berita oleh khalayak (Effendi, 1993: 287). Dengan kata lain, media membuat sesuatu yang tidak penting menjadi penting, misalnya dengan penekanan atau porsi penayangan berita yang besar.
Inilah yang sebenarnya terjadi pada jurnalisme infotainment. Wartawan infotainment sebenarnya mengorek-orek berita yang tidak penting. Misalnya mengenai peceraian seorang artis. Tapi yang membuatnya menjadi penting adalah penekanan pada unsur artis/ figure yang ditampilkan serta frekuensi penayangan informasi tersebut. Terlepas dari unsur pentingnya informasi, hal yang demikian juga telah melanggar ruang privasi artis. Pelanggaran terjadi ketika sesuatu yang seharusnya berada pada ruang privat diangkat oleh wartawan dan tersebar ke ruang publik. Dan patut disayangkan, undang-undang yang mengatur hal-hal yang demikian belumlah cukup. Wajar jika terjadi pelanggaran di mana-mana.
Namun, sebenarnya hal tersebut juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada wartawan sebagai pelaku media. Karena dilema tersebut dibenturkan pada kerja-kerja profesional yang menuntut standardisasi kerja pers. Dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach menyebut salah satu unsur dan sarat penting sebuah peristiwa yang dapat dijadikan berita adalah adanya nilai berita yang salah satunya mengusung publik figur. Sehingga peristiwa apapun,-walaupun perihal yang sangat biasa, menjadi penting dan bernilai berita tatkala bersinggungan dengan kehidupan seorang public figur. Termasuk di dalamnya kehidupan artis yang telah merambah pada pemahaman seorang publik figur.
c.       Multi-interpretasi
Celah yang ada dalam Undang-undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia ataupun undang-undang yang lain – menurut hemat penulis – bisa dimaknai sebagai betapa manusiawinya hukum di negara kita. Ketika seseorang telah terbukti bersalah pun, dia masih bisa melakukan pembelaan dengan menggunakan celah-celah tersebut. Selain itu, celah-celah inilah yang menjadi arena bermain para praktisi hukum di negara kita. Kiranya, tak ada penjelasan yang lebih masuk akal selain bahwa justru dengan ketercerabutan hukum seperti ini kita masih bisa mengotak-atik dan menjadikannya sempurna.
Menanggapi ketidaksejalanan antara pasal 14 ayat 2 dan pasal 21 di atas, memang pada dasarnya bagi kedua pihak yang disinggung dalam kedua pasal ini, baik dari pihak yang diberi hak mencari informasi (tersebut di dalam pasal 14 ayat 2) seperti yang dicontohkan dengan para wartawan infotainment maupun bagi sang nara sumber informasi (tersebut dalam pasal 21) atau dalam hal ini adalah para selebritis / public figure tidak ada yang bisa disalahkan sepenuhnya. Karena sekali lagi pokok permasalahan dalam hal ini kembali lagi ke ketidakjelasan dari content pasal-pasal itu sendiri yang sangat general menyebutkan batasan-batasan dari yang sebenarnya harus jelas batasannya. Seperti salah satu yang tersebut dalam pemaparan di atas adalah terkait dengan batasan mana yang disebut ranah pribadi dan mana yang disebut yang disebut dengan ranah publik selebritis yang pantas untuk dijadikan sebagai konsumsi publik. Jika keburaman batasan ini masih saja dipertahankan oleh pemerintah melalui isi dari pasal-pasalnya yang banyak memuat hal-hal yang bersifat kontradiktif, maka selama itu pula masalah-masalah akan banyak bermunculan tanpa jelas penyelesaiannya sebagai konsekuensi dari beragamnya kepentingan dari tiap-tiap pihak yang terlindungi oleh tiap-tiap isi pasal yang bersifat kontradiktif tersebut. Pertanyaannya sekarang, akan kita bawa ke mana kapal negara ini berlayar jika peraturan yang menuntun arah tujuannya tidak pernah tegas dan jelas memberi gambaran kepada nakhoda maupun para penumpangnya? Tentunya hal ini patut menjadi bahan pemikiran kita bersama pada umumnya dan bahan pemikiran bagi para pembentuk kebijakan pada khususnya.
Adapun terkait dengan kebrutalan dari para pencari informasi dalam “mengobok-obok” ranah pribadi dari sang selebriti sebagai konsekuensi dari ketidakjelasan batasan ranah pribadi dan publik yang dimaksud dalam pasal 21, tentunya hal ini sebenarnya tidak perlu terlalu dijadikan momok yang begitu menakutkan oleh para target sumber informasi oleh para wartawan infotainment tersebut. Karena ternyata pemerintah juga masih cukup berbaik hati terhadap para selebritis ini dengan menyediakan pasal 29 ayat 1 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Di mana dalam pasal ini disebutkan bahwa”setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya”. Jika para selebriti ini benar-benar telah merasakan perlakuan dari para wartawan infotainment yang sudah diluar koridor yang mana menyinggung sisi-sisi privasi sang selebriti secara membabi buta, maka senjata pasal 29 ayat 1 ini dapatlah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan harapan dapat memberi pelajaran kepada para wartawan infotainment yang telah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan berita yang mereka inginkan.
Namun pada akhirnya, semua memang kembali kepada pribadi individu yang ada di dalamnya. Sedikit mengutip pendapat B.H Hoed dan Ahmad Munif, bahwa dalam masyarakat yang materialistis-hedonis ini, informasi makin diperlukan, dan bentuk serta perolehannya pun makin canggih. Semua upaya perolehan informasi dilakukan melalui kreasi yang hampir tanpa batas. Hanya tinggal satu yang masih perlu dijaga: etika yang benar-benar mengacu pada sikap profesionalisme yang sesungguhnya. Karena setiap profesi toh punya sendiri aturannya.
A.    Pelajaran Jurnalistik yang dapat Kita Pelajari dalam Infotainment
Hingga hari ini, tayangan infotainment di layar televisi Indonesia masih terhitung kontroversi. Dewan Pers - bersama Program the European Initiative for Democracy and Human Right [EIDHR] European Commision - dalam diskusi 21 November 2005 mempertanyakan apakah infotainment termasuk jurnalistik. Setahun kemudian, Universitas Paramadina Jakarta menggelar seminar dengan tema serupa. Sementara Persatuan Wartawan Indonesia [PWI] mengakui bahwa infotainment sebagai karya jurnalistik, sehingga PWI mengakomodasi jurnalis infotainment yang mendaftarkan diri ke dalam organisasi ini, sehingga secara resmi ada Departemen Infotainment sejak akhir Desember 2005.
Di luar diskusi Dewan Pers dan seminar Universitas Paramadina, ada yang merumuskan: infotainment dikategorikan jurnalistik, "hanya saja, ada jurnalistik bagus dan tak bagus". Dan "infotainment termasuk yang tak bagus." Yang lain menyatakan: infotainment terlalu memasuki wilayah privasi, sementara - pasti - para pekerja infotainment mempersoalkan jabaran "privasi" itu.
Lebih jauh bahkan pekerja infotainment berujar gagah: "perselingkuhan perlu dibongkar, karena itu menyangkut persoalan moral." Dalam logika pekerja dan pemilik tayangan yang dinilai kerap memberitakan perkawinan, perceraian, persoalan rumah tangga, perpacaran sesama lajang-bujang, atau perkasihan suami/istri dengan lelaki/perempuan lain, tayangan infotainment mengemban kritik sosial dan moral, mengingat selebritas adalah juga figur publik - sambil diam-diam menutup mata dan menutup pengetahuan bahwa jabaran figur publik adalah figur yang memiliki dan mengeluarkan kebijakan berkait dengan nasib publik.
Salah satu puncaknya, Agustus 2006, ulama Nahdlatul Ulama [NU] - usai bermuktamar di Surabaya - memfatwakan bahwa infotainment haram hukumnya karena memasuki wilayah ghibah alias gunjingan - bahkan fitnah karena tak terbukti kebenarannya - atas persoalan-persoalan pribadi yang diberitakan itu.
Dalam kenyataan, infotainment tak bisa dianggap sia-sia terutama dari sisi pembelajaran untuk publik dan dunia media itu sendiri. Dari sisi cara kerja media, main gedor mobil narasumber agar narasumber tak semata bungkam atau sedikit buka suara sebatas off the record - karena tuntutan pernyataan dalam jurnalisme infotainment, sesungguhnya juga dilakukan oleh media mainstream alias arus-utama umumnya, yakni sebatas memuat pernyataan [salah satu pihak belaka] tanpa sama sekali merujuk pada kenyataan sesungguhnya.
Bagi publik dan media sendiri, rasa-rasanya infotainment bisa dijadikan acuan saat membongkar perkawinan diam-diam seorang suami dengan perempuan lain. Kasus perkawinan pengacara Farhat Abbas dengan Ani Muryadi dan perkawinan Bambang Trihatmodjo dengan penyanyi Mayangsari adalah salah dua contoh konkret. Investigasi infotainment atas penyangkalan Farhat, suami penyanyi Nia Daniaty, dan pengakuan Ani atas perkawinan mereka bisa dijadikan pembelajaran bagi investigasi umumnya media, yang ternyata gagap dalam melakukan investigasi justru di saat arus informasi sedemikian terkuak. Pernyataan Farhat dan Ani terbantah oleh kenyataan berupa foto perkawinan mereka yang ditemukan jurnalistik infotainment.
Dalam kasus perkawinan Bambang Trihatmodjo, suami Halimah, dengan Mayangsari, infotainment tidak sebatas memberitakan pelabrakan Halimah dan anak-anaknya yang menabrakkan mobilnya ke pagar rumah Mayangsari, namun infotainment bahkan sekaligus memberikan pemahaman hukum pada publik, yakni Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menggariskan bahwa perkawinan kedua seorang suami harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama [bagi muslim] [pasal 56 ayat 1] atau Pengadilan Negeri.
Maknanya, kawin diam-diam Farhat serta Bambang bukan saja cacat hukum, yang menikahkeduakan pun harusnya terkena sanksi hukum. Agak sayang, dalam wacana berikutnya, media hiburan cenderung sekadar menghukum Mayangsari sebagai perebut suami dan/atau Halimah sebagai istri yang tak bisa menjaga suami supaya tetap berada dalam pelukan keluarga pertama.
Begitu pulalah saat ustad Aa Gym menikah untuk kedua kalinya namun tetap mempertahankan istri pertama, justru infotainment-lah yang pertama kali meniupkannya. Baru kemudian media arus-utama ramai membahas, termasuk dalam laporan utama. Lagi-lagi karena jasa infotainment juga kemudian terpahamkan bahwa Nabi Muhammad SAW yang dijadikan kilah peneladan para suami pelaku beristri lebih dari satu itu ternyata sepanjang 28 tahun adalah seorang monogami, sementara pelaku poligami masa kini tak bersejajar dengan yang dijalankan Rasulullah.
Aa Gym bukanlah artis alias selebritas. Bersejajar dengan Bambang Trihatmodjo dan Halimah. Kasus Halimah-Bambang-Mayangsari menjadi menu utama infotainment, karena anasir Mayangsari sebagai artis. Bersejajar dengan pernikahan Danny Rukmana dengan bintang sinetron Lulu Tobing atau putra pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan artis-presenter Anissa Pohan. Bersejajar dengan gencarnya pemberitaan video saru [ada yang memelesetkan ucapan selamat pada hari-hari akhir ini menjadi: "Selamat Nakal & Tahun Saru; Mari Kiss Mas & Happy No Wear"] politikus Yahya Zaini dengan pedangdut Maria Eva.
Infotainment bisa saja salah kaprah menyebut para selebritas sebagai publik figur, kendati selebritas aslinya sekadar sosok kondang atau terkenal; namun bisa pula infotainment sama sekali tidak salah - kendati not by design - mewacanakan bahwa para politikus kiwari sejatinya adalah sesosok penghibur atau entertainer, bersejajar dengan infotainment sebagai pemendekan dari 'informasi' dan 'entertainment'. Tapi, adakah tokoh agama - tak harus Aa Gym - setali-tiga-gobang dengan penghibur? Hmmm?
Tahun 2007, yang bisa diharapkan, infotainment menjadi semacam jurnalisme alternatif, yang tak semata berburu perceraian dan perselingkuhan, melainkan ke lain-lain hal - sebagaimana ternyata publik menjadi paham adanya hukum yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga, justru setelah ada artis yang menggugat cerai suaminya.

B.     Infotainment bukan Produk Jurnalistik
Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Mulharnetti Syas mengatakan program infotainment yang ditayangkan di stasiun-stasiun televisi di Indonesia bukan merupakan karya jurnalistik. Namun, Prof Sasa Djuarsa Sendjaya selaku promotor meluruskan pendapat tersebut.
"Setelah melakukan observasi yang mendalam dan wawancara di lapangan tayangan infotainment tidak sesuai dengan koridor jurnalistik," kata Mulharnetti Syas usai mempertahankan disertasinya yang berjudul Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia (Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment). 
Sidang promosi doktor ini diketuai oleh Prof. Dr. Ilya Revianti S. Sunarwinadi, M.A, dan anggota Prof. Alois Agus Nugroho, Ph.D., Prof. M. Alwi Dahlan, Ph.D, Prof. Dr. Dedy Nur Hidayat, M.Sc.  Sedangkan, Prof. Dr. Sasa Djuarsa Sendjaya, Ph.D. bertindak sebagai promotor bersama Dr. Pinckey Triputra, M.Sc., Dr. Ishadi S.K., M.Sc., sebagai Ko-Promotor.
Mulharnetti mengatakan hasil disertasinya juga menyimpulkan bahwa tayangan infotainment banyak melanggar kode etik jurnalistik, karena menampilkan gosip atau isu, bukan fakta yang ada.
"Infotainment banyak menayangkan hal tidak sesuai dengan fakta. Padahal karya jurnalistik berdasarkan fakta dan tidak mencampurkannya dengan opini," jelasnya. Menurutnya, tayangan infotainment hanya sebagai hiburan semata bagi pemirsa televisi, sehingga kurang bermanfaat bagi masyarakat. Ia juga menilai bahwa para pekerja di infotainment bukan wartawan, karena hasil kerjanya bukan produk jurnalistik. "Hasil kerja infotainment hanya merupakan produksi infotainment," katanya. Dikatakannya, penelitian ini bertujuan untuk mengamati tentang segala yang terjadi dan menganalisa fenomena proses produksi program infotainment dalam kaitannya dengan relasi kekuasaan, pertarungan kepentingan, dan kaitannya dengan etika kapitalisme dalam budaya industri televisi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma kritis dan hasil penelitiannya adalah, adanya relasi kekuasaan yang terjadi dalam budaya industri televisi di Indonesia pada program infotainment. Selain itu juga penelitian tersebut menunjukkan adanya pertarungan kepentingan antara praktisi infotainment, selebritas, pemilik televisi, pemasang iklan, state, market, dan masyarakat sipil. "Kesimpulan penelitian ini adalah adanya relasi kekuasaan di industri televisi menyebabkan program infotainment menjadi produk budaya popular dan berbentuk program gosip yang tidak mematuhi Kode Etik Jurnalistik," katanya.
Menanggapi hasil disertasi tersebut, mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Sasa Djuarsa Sendjaya mengatakan bahwa infotainment merupakan karya jurnalistik. "Ketika saya jadi ketua KPI dan juga Dewan Pers menyatakan bahwa infotaiment merupakan karya jurnalistik karena bersifat faktual," katanya. Hanya saja, menurutnya, infotainment menayangkan hal-hal yang bersifat negatif dengan kemasan sensasi, untuk menarik perhatian pemirsa televisi. "Tayangan infotainmnet sudah lama ada sejak lama seperti di Inggris dan Amerika Serikat dengan adanya Yellow Journalism," ujarnya. Ia  menilai jika memang ada yang tidak setuju infotainment sebagai karya jurnalistik, itu sah-sah saja tidak perlu dipertentangkan lebih jauh lagi.
C.     Jurnalistik Di Mata Hukum
Salah satu perwujudan kemerdekaan Negara Republik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 UUD 1945. Oleh karena itu, kemerdekaan pers wajib dihormati oleh semua pihak.
Mengingat negara Republik Indonesia adaah negara berdasarkan atas hukum sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan UUD 1945, seluruh wartawan Indonesia menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggungjawab, mematuhi norma-norma profesi, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila. Dengan itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia.
Pada kesempatan ini, saya ingin membahas dua contoh kasus yang berkaitan dengan jurnalistik. Contoh kasus pertama adalah ketegangan dunia jurnalistik Indonesia yang memisahkan dua kubu, yaitu jurnalistik hiburan (infotainment) dan jurnalistik informasi (news). Banyak pendapat ahli jurnalistik yang menyatakan bahwa infotainment tidak termasuk ke dalam ranah jurnalistik. Tentu saja hal ini mendapat tolakan keras dari pihak infotainment, dengan alasan mereka juga memberikan informasi dan menyebarkan nilai. Di satu pihak, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersikukuh bahwa infotainment tidak termasuk jurnalistik karena tidak mematuhi Kode Etik Profesi.
Saya ingin berpendapat di sini bahwa setuju, infotainment tidak termasuk dalam ranah jurnalistik dengan alasan berikut ini. Pertama, terlalu seringnya infotainment tidak mematuhi embargo dan off the record yang menjadi peraturan dasar dalam dunia jurnalistik. Salah satu contohnya adalah wartawan media infotainment seringkali tidak memperhatikan kondisi narasumber dan bahkan memberikan tekanan pada narasumber tersebut. Menurut hemat saya, mentasnya perkembangan kebebasan yang kebablasan dapat dikatakan dimulai dari jurnalistik semacam ini. Tidak adanya privasi sebenarnya bisa saja, secara tidak langsung, disebut dengan pelanggaran HAM. Salah satu fungsi jurnalistik adalah mentransmisikan nilai. Lalu apa hubungan transmisi nilai dengan infotainment?
Ditilik dari geografis Indonesia yang sebagian besar adalah wilayah pedesaan. Tentu pola komunikasi mereka berbeda dengan pola komunikasi perkotaan. Masyarakat desa yang secara pendidikan masih di bawah masyarakat kota, tentu akan menerima suatu persitiwa mentah-mentah tanpa dikritisi terlebih dahulu. Ini yang dapat menyebabkan kesalahpahaman dari suatu kasus yang disiarkan melalui media. Contoh perceraian artis-artis yang seharusnya dikritisi melalui sudut pandang penyebab kegagalan mereka dalam rumah tangga, sebenarnya dapat diambil segi positifnya, yaitu pembelajaran dari penyebab kegagalan rumah tangga. Tapi, untuk mereka yang kurang berpendidikan dan menyerap semuanya tanpa disaring, akan mendapat persepsi yang salah dari kasus tersebut. Orang-orang yang kurang berpendidikan tersebut akan serta merta menerima bahwa perceraian adalah suatu tren baru masyarakat perkotaan.
Infotainment juga kerap kali melanggar Kode Etik Jurnalistik, Bab Kepribadiandan Integritas, Pasal 3, wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnalistik yang menyesatkan, memutarbalikan fakta, bersifat fitnah, cabul, serta sensasional. Padahal kita tahu bahwa pemberitaan infotainment sebagian besar adalah gosip dan bersifat untuk mencari sensasional melalui popularitas artis. Ketika kasus video panas Ariel-Cut Tari sedang hangat-hangatnya, hampir sebagian infotainment menanyangkan cuplikan video tersebut meskipun diblur. Hal tersebut tentu saja, mendapat peringatan keras dari KPI.
Selain itu, infotainment kerap kali melanggar Kode Etik Jurnalistik, Bab Cara Pemberitaan dan Menyatakan Pendapat, Pasal 6. Di situ dikatakan bahwa wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum. Infotaniment terlalu sering mengekspos kegagalan rumah tangga orang, perselingkuhan, dan lain-lain sehingga merugikan tokoh tersebut. Padahal, hal tersebut tidak benar-benar menyangkut kepentingan umum, tapi demi rating semata.
Pelanggaran lain terlihat dalam Bab Sumber Berita, Pasal 11, bahwa wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperlihatkan kredibilitas serta kompetensi sumber berita. Saya tidak mengatakan bahwa informasi yang diberitakan infotainment, bukan merupakan kebenaran. Tetapi yang ingin saya garisbawahi di sini, wartawan infotainment seringkali hanya mendapatkan berita dari rumor saja (berita si artis A berpacaran dengan artis B dan akan segera menikah, padahal ketika ditanya, sumber menyangkal dirinya berpacaran red.). Hal tersebut mungkin tidak sepenuhnya menyalahi kebenaran, tapi menempatkan kredibilitas di level yang memprihatinkan, apalagi kompetensi sumber berita yang tidak memenuhi standar. Padahal, berita itu harus mengandung objektif mengedukasi, menghibur, memediasi, memengaruhi, dan menginformasikan. Tetapi pada kenyataannya, informasi yang diberikan seakan-akan hanya sebatas konspirasi demi mendapat akses rating dan komersial.
Pelanggaran-pelanggaran di atas adalah Kode Etik yang disusun oleh PWI. Sedangkan untuk Kode Etik AJI, banyak pula terdapat pelanggaran, seperti pada nomor 1, 4, 6, 7, 10, 12, 16, dan 18.
Pada nomor satu, infotainment seringkali memberitakan rumor dan bahkan gosip yang belum jelas kebenarannya. Pada normor empat, infotainment seringkali gagal dalam memberikan kejelasan sumber dan pertanggungjawabannya. Pada nomor enam, cara-cara untuk memperoleh berita seringkali juga memberikan tekanan pada sumber, khususnya ketika sumber tersebut menolah untuk diwawancarai. Pada nomor tujuh, infotainment tidak mematuhi embargo dan off the record, seperti ketika anak Ariel Peterpan yang terkena kamera ketika salah satu media infotainment ngotot menanyai sumber. Kejadian tersebut tentu saja membuat Luna Maya marah besar. Pada nomor 10, Prasangka, diskriminasi, dan sikap merendahkan seringkali ditunjukkan oleh presenter infotainment sendiri (kalimat-kalimat menyindir yang sering terdengar ketika KD berniat menikah dengan Raul dan berciuman di depan publik red.). Pada nomor 12, ciuman KD-Raul yang diekspos di depan media dan cuplikan adegan panas Ariel Peterpan dengan Luna Maya (walaupun diburamkan) sebenarnya dapat dikatakan mengumbar kecabulan, apalagi Parent Guidance Program di Indonesia belum maksimal. Nomor 16, infotainment melakukan pencermaran nama baik dengan celotehan dan sindiran yang tidak pantas saat presenter berkomunikasi dengan audiens. Nomor 18, kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik tidak diselesaikan oleh Majelis Kode karena pihak infotainment menolak pembebanan pelanggaran media infotainment lainnya sehingga terjadi aksi saling tunjuk.
Jika contoh kasus pertama mengenai kode etik, contoh kasus kedua berkaitan dengan keselamatan wartawan. Pekan lalu (29/9), harian Kompas memuat kasus pembunuhan wartawan. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi enam terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana terhadap wartawan harian Radar Bali, Anak Agung Gede Bagus Narendra Prabangsa. Majelis menilai, judex factie tidak salah menerapkan hukum karena mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan cermat. MA sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Negeri Denpasar yang menghukum I Nyoman Susrama dengan pidana seumur hidup. Susrama yang juga rekaan Dinas Pendidian yang mengerjakan proyek pebangunan taman kanak-kanak bertaraf internasional di Bangli terbukti sah dan meyakinkan sebagai otak pembunuhan.
Dalam hal tersebut Susrama dan kawan-kawan terbukti sah dan meyakinkan melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Terdakwa lainnya, I Nyoman Wiradnyana alias Rencana, dihukum 20 tahun penjara. I Gede Maulana Antara alias Dewa Suumbawa dan I Wayan Suecita alias Maong masing-masing dihukum penjara selama delapan tahun.
Kasus itu bermula dari berita ang dibuat oleh Anak Agung Narendra Prabangsa pada 3, 8, dan 9 desember 2008 tentang dugaan kkorupsi dalam proyek pembangunan taman kanak-kanak bertaraf internasional di Bangli. Pemberitaan itu mengusik Sursrama.
Penanganan tindak pidana pada perkara Prabangsa tersebut sangat tepat. Pembunuhan yang direncanakan harus ditindak tegas dan tak kenal ampun. Prabangsa hanya melakukan tugasnya dengan menulis apa yang ia temukan dari peliputannya. Berprofesi sebagai wartawan sangat tidak mudah, meskipun di era di mana demokrasi kerap didengung-dengungkan seperti sekarang ini. Tantang terbesar wartawan, khususnya wartawan investigasi, tidak sekedar pada pencarian bukti dan informasi, tapi juga keselamatan dirinya sendiri. Apabila tidak ada perlindungan hukum dari negara, maka hal tersebut akan sangat tidak adil.
Dalam bukunya yang berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosentiel menuliskan bahwa pers adalah buah dari demokrasi yang menyala. Apabila demokrasi redup, maka begitu pula dengan pers. Sebagai konsekuesi dari pemerintahan demokrasi, saya sangat setuju dengan perlindungan hukum terhadap wartawan. Sebaliknya, jika wartawan tersebut menyalahi kode etik dan bernegativitas, maka selayaknyalah wartawan tersebut dihukum menurut hukum yang berlaku.
Kesimpulan saya, jurnalis yang termasuk salah satu bentuk profesionalitas yang dibuktikan dengan adanya kode etik, harus menjalani kewajibannya sebagai seorang pewarta yang bertanggungjawab. Apabila tidak mematuhi kode etik dan aturan tertulis, maka pihak tersebut wajib menjalani hukuman seperti yang telah tercantum dalam peraturan tertulis karena organisasi profesi adalah resmi sebagai salah satu dari lima regulator informasi di Indonesia. Di mana empat lainnya adalah sumber, pemerintah, pengiklan, dan konsumen media.
Jadi, proses hukuman pun wajib dilaksanakan pada mereka yang dengan sengaja atau tanpa sengaja merugikan bahkan mengacam wartawan dalam pemberitaan dengan alasan apapun. Selain itu, meskipun hukum telah dikodifikasi, implementasi konkret dari hukum tersebut juga menuntut kerjasama pihak-pihak terkait, seperti lembaga peradilan, aparat dan penegak hukum. Hal tersebut dibahas pula dalam tiga komponen hukum oleh Lawrence Friedman.

Related Post



Unknown mengatakan...

"Hi!..
Greetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
Ejurnalism

Posting Komentar