Lembah Bukhara

Lembah Bukhara
Dikutip dari novel Tere-Liye Ayahku (Bukan) Pembohong
Hingga akhirnya, pada pagi hari yang indah saat cahaya matahari pertama menerabas remang jalan, saat akhirnya tiba di pintu gerbangnya, Kakek melihat hamparan indah lembah itu. Dibentengi delapan gunung, dihiasi enam air terjun setinggi ratusan meter, dibungkus selimut kabut putih sejauh mata memandang, hamparan lading subur, rumah-rumah panggung dari kayu yang eksotis, lenguh suara burung dan hewan yang hidup bebas, itulah lembah permai. Bahkan di sana angina tidak berhembus lazimnya seperti di tempat-tempat lain. Cobalah duduk di salah satu beranda rumah mereka, pejamkan mata, hanya soal waktu kalian akan tahu angina di lembah itu bernyanyi, melantunkan kabar betapa sejahtera, makmur, dan adil seluruh penghuninya. Itulah Lembah Bukhara yang tersembunyi dari peradaban manusia. Itulah lembah paling indah di seluruh dunia.

Lembah Bukhara tidak dibangun semalam, lembah itu bukti proses panjang, saling menghargai manusia dan alam, pemahaman yang baik, penguasaan ilmu pengetahuan serta kebijakan luhur manusia. Butuh seratus tahun agar Lembah Bukhara menjadi seperti yang Kakek lihat.

Menurut cerita Ali Khan, emir Lembah Bukhara yang Kakek temui, seratus tahun silam seluruh keindahan lembah binasa oleh keserakahan penghuninya, para penambang emas. Mereka datang satu rombongan disusul rombongan lain. Kabar ditemukannya emas di sepanjang sungai lembah membuat hutan-hutan dibabat, pemukiman baru bermunculan. Dalam sekejap, yang tersisa hanya lubang tambang emas di mana-mana. Tidak puas melubangi lembahnya, penduduk mulai merangsek ke lereng delapan gunung, menggelontorkan berjuta-juta ton pasir bebatuan ke lembah, terus mengeduk emas yang tersisa. Lereng gunung sompal bagai kue yang dipangkas, berubah coklat dan gersang. Hanya dalam hitungan tahun, seluruh hutan yang luasnya hampir sebesar kota berubah menjadi padang pasir. Tandus, panas, tidak menyisakan apapun selain kesedihan.

Kerusakan tidak tertahankan, bijih emas semakin sulit ditemukan, maka satu rombongan disusul rombongan lain bergegas meninggalkan lembah terkutuk itu.

Tidak ada yang tersisa, habis, musnah, lantas apakah para penduduk asli lembah menjadi kaya ? Makmur ? ternyata tidak, jauh bumi dengan langit. Kemilau emas hanya memberikan kesenangan sesaat, hidup bergaya, lantas apa? Mereka segera jatuh miskin. Generasi berikutnya malah hidup semakin susah. Untuk mencari seember air bersih mereka terpaksa berjalan kaki belasan kilometer. Padang pasir tidak bisa ditanami. Tamat sudah ladang-ladang yang subur, hutan yang memberikan nafkah. Dan keributan muncul di mana-mana. Penduduk berebut makan. Hal-hal sepele memicu pertengkaran. Orang-orang mencari jalan pintas, melakukan kejahatan, merendahkan harga diri. Lembah itu berubah jadi pemukiman tidak beradab. Sementara para pendatang sudah jauh meninggalkan mereka, entah sedang merusak dimana lagi. Warga lembah harus menanggung keserakahan mereka membiarkan pendatang menambang emas.

Seratus tahun silam, adalah Alim Khan, kakek Ali Khan, emir Bukhara yang menjadi tetua lembah. Di tangan Alim Khan-lah harapan tersisa. Pemimpin yang baru dua puluh tahun, pulang dari menuntut ilmu di negeri seberang, harus mendapati lembah kelahirannya hancur lebur. Tidak ada kata menyerah dalam kamus kehidupan Alim Khan. Dia yakin, siapa yang terus berjuang mengubah nasib, maka alam semeta akan mengirimkan bantuan, terlihat atau tidak terlihat.

Lembah Bukhara tidak dibangun semalam, melainkan seratus tahun. Pada periode awal, penduduk bahkan tidak menganggap Alim Khan sebagai emir, hanya segelintir orang yang membantu. Alim Khan mengerti situasinya. Dia perlu bukti nyata agar jalan keluar yang ditawarkannya bisa diterima. Alim Khan percaya, kembali menjadi petani, menghormati alam, hidup sederhana justru akan mengembalikan keindahan seluruh lembah. Dia menolak mentah-mentah bantuan dari luar yang hendak menjadikan lembah itu tanbang pasir bijih besi, menawarkan harta benda bertumpuk. Alim Khan memblokade jalan-jalan agar tidak ada alat berat dan truk pengangkut pasir masuk. Dia bersama segelintir penduduk lembah meruntuhkan lereng gunung, memutus total akses keluar-masuk lembah, membuat lembah itu tersembunyi dari peradaban kaum perusak.

Dan Alim Khan menawarkan ilmu pengetahuan sebagai jalan keluar. Tebal lautan pasir yang menutupi seluruh lembah tidak kurang tiga puluh meter. Setiap kali hujan turun, semua air terserap masuk tanpa tersisa., tidak ada sayur, gandum, dan tumbuhan lain yang bisa hidup. Alim Khan menyuruh mereka mengeduk pasir hingga kedalaman satu meter, lantas membuat hamparan beton untuk menahan air merembes ke dalam, menumpuk kembali pasir bersama tanah di atasnya, membuat sumur-sumur dalam, mengairi tanah yang sudah dilapisi beton, mulai menanam sayur-mayur. Tiga bulan, teknologi itu terbukti. Tanah lembah itu memang memiliki unsur hara berlimpah. Lading sayur Alim Khan menghijau, daunnya rimbun, buahnya lebat dan besar-besar, membuat pertikaian di lembah terhenti, takjub. Perlawanan sebagian penduduk yang masih mendukung ide tambang bijih besi itu berakhir.

Emir mereka benar. mereka bisa menaklukkan padang pasir ini, mengubahnya kembali menjadi lembah yang subur dan diberkahi. Penduduk lembah menyingkirkan perbedaan, menjulurkan tangan, bahu-membahu memperbaiki lembah—yang berarti juga memperbaiki hidup mereka sendiri.

Sepuluh tahun berlalu, tidak terhitung kebun penduduk menghampar, pohon-pohon besar ditanam kembali, sampah beracun sisa tambang emas ditimbun dalam-dalam, sungai kembali mengalir bening, dan kehidupan penduduk membaik. Alim Khan menjelaskan pemahaman hidup yang sederhana, kerja keras, selalu pandai bersyukur, saling membantu.

Terpikir bahwa Lembah Bukhara tersebut adalah Indonesia. Negara kita tercinta. Bahwa meskipun masih sangat banyak persoalan rumit yang melanda negri ini, suatu saat, entah kapan negri ini dapat sejahtera dan makmur seperti apa yang semua harapkan. Kita butuh sosok seperti seorang Alim Khan yang mampu out of the box dari pemimpin-pemimpin umumnya. Tidak hanya itu, Alim Khan tidak akan berhasil jika sendirian, tanpa dukungan pengikut setia dan para penduduk, kehidupan mereka tidak akan berubah lebih baik sampai kapanpun.